Senin, 31 Mei 2010

TAYANGAN STASIUN TELEVISI KITA

SEKITAR 15-20 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 2000) kita mungkin tak dapat membayangkan bahwa suatu saat negeri ini akan dihiasi oleh berbagai stasiun televisi swasta. Pertelevisian nasional didominasi oleh stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI, yang bernaung di bawah Departemen Penerangan. Program-programnya, tidaklah mengherankan, berisi hal-hal yang sesuai dengan selera pemerintah. Dalam suasana pemerintah Orde Baru yang kurang atau mungkin bahkan tidak demokratis, praktis rakyat tidak memiliki banyak pilihan menonton acara televisi yang sesuai dengan seleranya. Hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati tayangan alternatif (televisi asing) melalui parabola, mengingat untuk memilikinya relatif mahal.

Program-program TVRI periode Orde Baru mungkin juga dapat disaksikan pada negara-negara yang memiliki pemerintahan yang relatif otoriter: cenderung monoton. Mungkin begitulah ciri pertelevisian nasional di negara-negara yang tidak demokratis.

Sekitar tahun 1989 kita mengenal televisi swasta pertama yaitu RCTI, stasiun televisi swasta yang dikenal luas dimiliki oleh anggota Keluarga Cendana. Demikian pula sekitar tahun 1990, muncul SCTV, tahun 1991 muncul TPI dan terus bermunculan Indosiar dan ANTV. Kehadiran mereka sedikit banyak menyajikan tayangan alternatif yang sesuai dengan selera masyarakat. Namun pembatasan mengenai apa yang boleh dan yang tak boleh ditayangkan masih terasa. Program diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah masih sangat kurang –untuk tidak mengatakan tidak ada.

Revolusi 1998 yang melengserkan simbol Orde Baru yaitu Soeharto (lahir tahun 1921) dari jabatannya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia, mengubah banyak hal. Berbagai hal-hal yang sekian lama dinilai tabu dibahas pada periode kekuasaannya begitu cepat diungkap atau disebar luas, semisal berbagai praktek pelanggaran HAM dan praktek KKN. Gairah masyarakat untuk lebih berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara –yang tentu terkait dengan nasib mereka sendiri– seakan mendapat “angin surga”. Para pejabat dan aparat –baik sipil dan militer– yang sekian lama cenderung dinilai sewenang-wenang sempat terpojok dan menjadi obyek sikap kritis masyarakat, terutama LSM.

Angin surga kebebasan tersebut merambah pula ke dalam dunia pertelevisian kita. Program-program yang disajikan lebih bervariasi dan “berani”. Beberapa stasiun televisi baru muncul.

Namun perkara berani atau bervariasi agaknya makin lama makin melampaui batas, kian jauh dan menyimpang dari ukuran yang patut. Penulis menilai bahwa betapapun variatifnya acara televisi, program-program yang disajikan agaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok semisal telenovela, film India, sinetron, musik dangdut dan tayangan misteri. Acara-acara demikian nyaris ada pada setiap stasiun. Seiring perjalanan waktu, mulai ada yang mengkritisi hal demikian.

Sebagai contoh, kita simak tayangan musik dangdut dan misteri. Jika kita mencermatinya, nyatalah bahwa penampilan para artis dangdut makin lama makin berani dalam arti pamer aurat dan gerak-geriknya cenderung erotis. Pada umumnya mereka adalah generasi muda. Penampilan tersebut sempat menimbulkan keprihatinan para seniornya. Para senior merasa telah bersusah payah mengangkat martabat musik dangdut dari musik yang dinilai pinggiran atau kampungan menuju level terhormat di pentas nasional, bahkan internasional. Penampilan seronok para artis muda tersebut dinilai dapat menjerumuskan musik dangdut hingga menjadi musik comberan.

Mengenai tayangan misteri, ini tak terlepas dari peradaban kita (Timur) yang meyakini sesuatu yang ghaib. Ini mungkin dapat difahami, bahwa perkara ghaib sangat terkait dengan agama yang memang lahir di Timur semisal Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam. Bahkan sebelum ada agama, manusia –terutama di Timur– meyakini bahwa di balik segala yang tertangkap panca indera juga terdapat alam yang misteri, yaitu alam yang terdapat kekuatan atau kuasa besar mengatur segala yang ada –yang lazim disebut Tuhan atau Dewa/i, ruh, setan atau hantu. Kepercayaan itulah yang agaknya dieksploitasi habis-habisan oleh (setiap) stasiun TV. Bahkan untuk pembuktian alam ghaib, beberapa orang bersedia menjadi peserta “survey” dengan istilah seperti “uji nyali” dan “uka-uka”. Si peserta ditinggal sendirian di tempat yang dinilai angker pada malam hari, umumnya berakhir jam 05.00.

Dalam konteks Indonesia yang notabene mayoritas Muslim, tak pelak bahwa tayangan tersebut merusak mental masyarakat. Masyarakat seakan dituntun untuk percaya alam ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan agama Islam –lazim disebut syirik– dan umbar aurat. Tayangan tersebut boleh dibilang menguntungkan stasiun bersangkutan ditinjau dari banyak iklan yang menghiasi acara tersebut, perkara dampak terhadap masyarakat itu soal lain. Serahkan saja pada diri masing-masing penonton.

Bagi yang cermat menyimak, tayangan yang dinilai merusak mental masyarakat adalah hasil dari peradaban kapitalisasi global yang berfokus mencari untung (materi) belaka tanpa peduli dampak moralnya. Jika menyebut kapitalis, hampir pasti bahwa yang teringat adalah dunia Barat. Bahkan ada yang menilai bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat Indonesia bukan sekadar mencari untung, tapi terselip suatu misi tertentu yaitu penjajahan budaya atau norma atau pernah penulis baca dengan istilah penetrasi budaya. Memang penetrasi di bidang budaya merupakan bagian dari imperialisme Barat selain dominasi di bidang politik dan eksploitasi di bidang ekonomi. Walaupun cara dan wujudnya mungkin berbeda sesuai dengan perjalanan zaman namun dasarnya tetap sama.

Untuk menghadapi penjajahan model itu, bukanlah dengan cara militer yang didukung persenjataan paling canggih, karena norma adalah sesuatu yang abstrak tetapi hidup atau ada di masyarakat. Maka harus dihadapi dengan cara yang abstrak pula.

Sejauh ini agama adalah cara yang tepat untuk menangkal dampak merusak dari tayangan TV, baik diberikan di rumah/keluarga –dan ini yang paling dasar– juga diberikan di lembaga pendidikan. Dinilai sebagai cara yang tepat karena agama memiliki serangkaian hukum atau moral yang bila dilanggar akan menemui akibat yang lazim disebut dosa, semacam noda atau cacat yang harus dibereskan oleh hukuman dalam tempat yang sering digambarkan secara mengerikan yang lazim disebut neraka.

Dalam ghaib, Tuhan menjelaskan bahwa yang pertama dan utama ghaib adalah Tuhan itu sendiri. Manusia dituntut percaya ghaib dengan mendahulukan percaya kepada Tuhan, Dzat yang Maha Ghaib. Dengan kepercayaan dasar demikian manusia diarahkan percaya bahwa Tuhan mampu menciptakan makhluk ghaib.

Untuk menutup kemungkinan manusia memperlakukan perkara ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan-Nya, Tuhan menjelaskan bahwa makhluk ghaib juga dibebani kewajiban mengabdi kepada Tuhan dan segala perilakunya juga dimintai pertanggung jawaban, sama halnya dengan manusia. Setahu penulis, antara makhluk ghaib dan manusia diizinkan saling berhubungan dalam lingkup tauhid, bukan syirik.

Mengenai seni, agama menjelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta. Tentu saja mampu menciptakan yang indah-indah semisal hutan hijau, langit cerah serta sungai yang bagai berlenggak-lenggok. Manusia hanya meniru ciptaan tersebut dengan menyimak alam sekitar. Manusia diizinkan mengungkapkan rasa indahnya dengan tujuan makin mencintai sumber keindahan yaitu Tuhan sendiri. Mengumbar gerakan dan pakaian seronok tentunya tidak termasuk yang mendapat izin Tuhan.

Tetapi maksud akhir agama bukanlah untuk menuntun orang menggembirakan dengan surga dan menakuti dengan neraka, tetapi menuntun manusia untuk hidup dan mati sesuai kehendak Tuhan sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan kepada kita, termasuk nikmat hiburan. Dan hal tersebut memiliki peluang berguna menyikapi berbagai tayangan TV yang telah merambah ruang privat kita yaitu kamar tidur atau (mungkin) WC kita.

Kaum Muslim jelas mendapat tanggung jawab berat menyelamatkan Indonesia dari dekadensi moral karena mayoritas penonton adalah kaum Muslim pula. Sikap kritis terhadap tayangan TV perlu ditampilkan, bagaimanapun orang membuat stasiun TV dan menyusun acaranya tidak terlepas dari perhitungan dagang, jika bicara soal dagang orang cenderung lebih mengutamakan untung –tentu dalam arti materi– tanpa atau sedikit mempedulikan dampak moral. Sadar atau tidak sadar para pemilik modal melaksanakan agenda imperialis. Gerakan imperialis menetapkan bahwa penjajahan dapat dilaksanakan melalui media elektronik –hampir pasti menjadikan kaum Muslim sebagai target utama, di Indonesia telah tersedia para anteknya yang siap melaksanakan program tersebut.

Kegagalan imperialis Barat dalam perang salib (1095-1291) disimak dengan cermat. Kaum Muslim sulit dijajah kalau imannya belum diperlemah atau moralnya belum dirusak. Media elektronik dapat berperan ampuh menyebarkan faham yang mengagungkan nikmat lahir atau duniawi, yang lazim disebut hedonisme. Tepat peringatan Muhammad menjelang akhir hayat bahwa kaum Muslim akan takluk karena cinta dunia dan takut mati. Dua perasaan itulah yang menjadi target bidik untuk di tumbuh-kembangkan oleh imperialis Barat.

PELANGGARAN HAM

MENJELANG rezim Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi, bangsa ini harus membayar mahal demi jatuhnya rezim tersebut dengan kerusuhan di beberapa kota yang menewaskan sekitar 2.000 orang. Awalnya dipicu oleh tewasnya beberapa mahasiswa akibat tembakan aparat ketika mereka berdemo, bahkan aparat menyerbu masuk kampus dan melakukan kekerasan. Entah siapa yang memanfaatkan peristiwa tersebut, kerusuhan tersebut berkobar dengan sasaran warga keturunan Cina walaupun jumlah pribumi yang menjadi korban masih lebih banyak.

Dalam waktu singkat citra Indonesia sebagai “etalase” masyarakat majemuk yang harmonis atau ramah jatuh ke titik nadir di dalam maupun di luar negeri. Kaum Muslim untuk kesekian kalinya mendapat citra buruk sebagai “doyan kekerasan” oleh massa media tertentu – dalam maupun luar negeri – ketika beredar info bahwa para pelaku kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa konon berteriak “Allahu Akbar” saat beraksi.

Masyarakat terkejut, mereka heran kenapa bangsa yang dikenal ramah berubah cepat menjadi garang, gemar dengan kekerasan. Maka berlomba-lomba para intelek, pengamat atau apalah istilahnya memberi pendapat ini-itu tentang penyebab kekerasan. Bukan jarang pendapat mereka tidak menjernihkan masalah namun justru mengeruhkan masalah.

Terlepas dari masalah siapa yang umat mayoritas di negeri ini, sesungguhnya penjelasan asal-muasal kekerasan tersebut tidak sulit dicari. Kekerasan atau pelanggaran HAM memang sudah lama akrab dalam riwayat bangsa ini, atau memang sudah fitrahnya. Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan hingga berdarah-darah, jadi bukan perkara baru.

Dalam sejarah bangsa ini banyak terdapat kisah peperangan yang bukan hanya melawan penjajah tetapi juga sesama saudara. Perang antar pangeran dan antar kerajaan lazim terjadi, perebutan kekuasaan putra mahkota sepeninggal ayahanda begitu meriah menghiasi sejarah Indonesia. Ini berakibat tanah Indonesia tidak ada yang bersih dari tumpahan darah, termasuk yang sehari-hari kita pijak kini. Agaknya hal ini perlu disimak oleh masyarakat –termasuk orang-orang yang disebut pakar atau kaum intelektual– supaya tidak menghasilkan pendapat yang terkesan pandir.

Sejak lama telah jelas bagi penulis, bahwa apa yang dinamakan ramah-tamah, sopan santun, budi luhur yang dilekatkan atau dipromosikan bangsa ini sesungguhnya hanya mitos, kedok atau kosmetik belaka, supaya terkesan cantik. Rezim Soekarno dan Soeharto dengan cerdik menampilkan citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang santun untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia hidup penuh harmoni atau adem ayem, mereka menggunakan sikap represif, hingga menyentuh hal yang sedemikian pribadi yaitu kebebasan berfikir atau berpendapat –yang hampir pasti jika dilonggarkan akan menimbulkan peluang beda pendapat atau polemik. Polemik dinilai mengganggu harmoni atau ketertiban umum. Harmoni adalah konsep yang konon sangat dijunjung tinggi dalam budaya yang melatari kedua tokoh tersebut yaitu budaya Jawa. Berbeda pendapat cenderung dinilai tidak praktis.

Harmoni palsu tersebut terbongkar ketika mereka digulingkan, terjadi kekerasan yang mengerikan. Konon peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru meminta tumbal sekitar 1.500.000 orang. Peralihan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi konon mengorbankan nyawa sekitar 2.000 orang. Tampillah sifat asli bangsa ini yang jauh dari beradab. Sesungguhnya dalam riwayat bangsa ini, di Jawa justru lebih sering terjadi pertumpahan darah dan pelakunya tentu umumnya dari suku Jawa –yang dikenal sebagai suku paling santun di Indonesia. Tambahan pula, sedikit yang tahu bahwa selama perioda Orde Baru ada sekitar 3.200.000 orang yang tewas dalam berbagai pelanggaran HAM. Kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok hanya sedikit contoh!

Harap simak kembali sejarah, apakah Indonesia –atau Asia Tenggara– tempat lahir peradaban semisal agama, seni atau filsafat? Penelitian yang telah dilaksanakan sejak lama membuktikan bahwa wilayah tersebut bukan tempat lahir peradaban tetapi impor peradaban. Hubungan dengan bangsa asing semisal Cina, India, Persia, Arab dan bangsa-bangsa Eropa berakibat bangsa-bangsa Asia Tenggara mengenal peradaban. Bangunan masjid dikenal dari Arab, bangun candi dikenal dari India, bangun klenteng dikenal dari Cina dan bangun gereja dikenal dari Eropa. Adapun bangsa-bangsa Asia Tenggara hanya mampu menumpuk batu-batu dengan susunan tak berketentuan bentuknya untuk tempat pemujaan, hidup di gua atau di atas pohon karena tidak tahu teknik bangun rumah. Bahkan huruf pun juga harus impor karena tak mampu mencipta sendiri semisal Sansekerta –Pallawa dari India– yang kelak menjadi huruf Jawa.

Kalau boleh penulis sebut contoh, sekitar 100-150 tahun lalu terhitung dari tahun 2000 masih ada di Indonesia praktek kanibal yaitu di pedalaman Sumatera Utara dan Irian Jaya. Di pedalaman Kalimantan terdapat tradisi mengayau (penggal kepala). Ini adalah contoh bahwa bangsa ini memang akrab dengan kekerasan atau kekejaman. Kehadiran para misionaris asing berangsur-angsur mengurangi tradisi tersebut.

Setelah tahu latar belakangnya, peluang untuk mencari “obatnya” mungkin relatif lebih mudah.

Bangsa ini harus berani jujur dengan mengakui sifat barbarnya –terutama para inteleknya. Masyarakat jangan lagi dibohongi dengan berbagai sanjungan diri sendiri, jangan lagi waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencari kekurangan bangsa lain –nyata maupun khayal. Usut segala pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan umumkan kepada masyarakat. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik dalam sejarah nasional perlu ditinjau kembali, apakah terdapat unsur pelanggaran HAM. Jangan cuma pelanggaran HAM oleh penjajah yang ditampilkan tetapi juga pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan, yang lazim disebut “pejuang” atau “pahlawan” tersebut. Karena para pejuang adalah manusia pula dan bukan malaikat, perjuangan mereka tak lepas dari kesalahan bahkan kekejaman.

Jika masyarakat telah sadar siapa dirinya, barulah sajikan pelajaran nilai-nilai adab semisal agama. Ini memang suatu proses yang panjang, mahal dan sulit tetapi sudah mendesak untuk segera dilaksanakan. Bangsa ini sudah menghabiskan waktunya demi kebohongan dan para intelek perlu bertanggung jawab membongkar atau mengakhirinya. Jangan ragu mengungkap pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh orang-orang yang diakui pahlawan atau pejuang. Jika yang bersangkutan masih hidup upayakan untuk diadili, masalah apakah akan ada pertimbangan kemanusian yang akan meringankan hukuman itu soal lain. Jika yang bersangkutan sudah tiada, tetap diusut dan dipublikasikan.

Sekadar membuka wacana, penulis ambil perioda Revolusi 1945 –periode yang diagungkan atau dikeramatkan sebagai titik puncak perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik diduga terdapat pelanggaran HAM. Begitu kekuasaan Jepang menyusut dan proklamasi diumumkan, di Aceh, Sumatera Timur, Banten dan pantura Jawa Tengah berkobar peristiwa yang disebut “revolusi sosial”. Intinya, mengganti para pejabat-aparat lama –yang dinilai antek atau minimal dekat dengan rezim asing baik Barat maupun Jepang– dengan orang-orang yang revolusioner. Dalam praktek, pergantian tersebut sering disertai pertumpahan darah atau tindak main hakim sendiri.

Peristiwa yang mendahului dan menyertai Hari Pahlawan tidak terlepas dari pelanggaran HAM fihak-fihak yang terlibat. Pada hemat penulis, kita tak perlu lagi membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh penjajah karena sejak kecil kita sudah ditanamkan bahwa penjajah yang pernah bercokol di Indonesia adalah kejam. Maka tiba waktu membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan. Penulis mendapat info dari sumber Barat, bahwa pernah terjadi pembantaian terhadap sekitar 100 warga Barat mantan tawanan Jepang. Truk yang mengangkut mereka dicegat aktivis dan kemudian dibakar. Sumber lain mengatakan ada upacara minum darah para warga Barat sebelum pergi berperang.

Tersebut pula peristiwa yang mendahului dan menyertai Palagan Ambarawa, para aktivis menerobos kamp kemudian menembaki warga Barat mantan tawanan Jepang. Demikian pula nasib para penghuni kamp di Depok, sekitar 30 km selatan Jakarta, mereka digiring keluar dan dibunuh.

Di Bandung, peristiwa Bandung Lautan Api 1946 mungkin mirip dengan peristiwa bumi hangus di Dili pasca jajak pendapat pada 1999. Banyak aset sipil –bahkan sebagian besar– dibakar.

Pada bulan Agustus 1946, terjadi pembantaian terhadap 18 warga Barat di desa Balapulang. Mereka disuruh menghormat bendera Merah Putih kemudian dipukul dan ditusuk hingga tewas.

Kalau boleh penulis usul, perlu dibentuk tim pencari fakta kasus pelanggaran HAM selama perioda 1945-2005, diawali sejak tahun 1945 karena ketika itu bangsa ini memiliki negara atau pemerintahan sendiri yang notabene bertanggung jawab terhadap penghargaan HAM. Tetapkan kriteria bahwa pelakunya adalah orang Indonesia dan korbannya adalah orang Indonesia maupun non Indonesia. Suatu pekerjaan yang tidak mudah namun perlu dilaksanakan supaya menjadi pelajaran berharga –tepatnya kritik diri– untuk bangsa ini, agar tidak mengulangi hal yang sama di masa depan.